Monday, March 3, 2014

Cerpen : Pelangi

Lebatnya hujan malam menyisakan becek disepanjang jalan ini. Tempat yang ku tuju hanya terlihat mengintip dari ujung jalan. Angin yang berhembus mulai menusukku dari segala sudut. “Dingin sekali” gumamku. Matahari hanya terlihat samar-samar sinarnya karena terhalang awan mendung. Aku terus berjalan, sesekali melompat ke kanan dan ke kiri menghindari lubang-lubang yang dipenuhi air. Aku berperang melawan dinginnya udara.
            Pintu gerbang sekolah telah terbuka lebar, banyak siswa yang berlalu lalang. Flamboyan merah menyapaku dengan gagahnya, burung-burung kecil bersorak menyemangatiku. Dari kejauhan kelasku terlihat tidak biasa, ada yang tidak beres, biasanya tidak sepi, pintu juga terlihst tertutup, “Apa mungkin ada tambahan jam pagi?” Aku mulai panik dan berlari menuju kelasku, tanpa peduli dengan air-air yang menggenang dihalaman sekolah.
            Ku atur napasku dan mulai membuka pintu kelasku dengan perlahan. Mataku terbelalak melihat keadaan ricuh dikelasku, sangat berbanding terbalik dengan yang kulihat dari kejauhan tadi. Wajahku berubah menjadi merah padam, kulihat rok abu-abu yang kupakai kotor penuh cipratan lumpur. “Rus…pinjam buku matematika milikmu” pinta Lasmi. Kesurahkan saja buku hasil kerjaku semalam, raut wajah lega sedikit tergambar diwajahku, untung aku sudah menyelesaikan PR matematika, pelajaran kesukaanku.
            Pelajaran matematika dimulai, Pak Rojak menjelaskan dan semua siswa memperhatikan tetapi berbeda ketika beliau membalik badan dan menulis, siswa-siswi yang diajarnya justru bergurau dan asik bermain HP. “Mengapa mereka seperti itu?” bisikku pada Lasmi. “Sudahlah, memperhatikan ataupun tidak hasilnya sama saja, tidak  paham. Lihat aku juga bermain HP” jelasnya sambil menunjukkan HP miliknya tersebut. Aku tidak gentar, aku harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Aku mencintai mata pelajaran ini.
            “Tet…tet…tet” anak-anak bersorak mendengar bunyi bel ganti pelajaran, mereka segera berhamburan keluar kelas. Namun tidak lama kemudian mereka kembali  dengan wajah penuh lipatan, lebih parah dari pada saat diajar matematika. Aku terheran, bagaimana bisa mereka serentak merubah ekspresinya? Hahahaha…. Aku tertawa terbahak-bahak, terlihat Bu Berti yang hendak mengajar dikelasku, pantas saja mereka serentak berwajah kusut. “hanya ingin istirahat dari matematika, kenapa sudah diajar lagi?” gerutu Lasmi.
            Bu Berti memulai pelajaran seperti biasanya, aku memperhatikan. “Anak-anak saya akan memberitahukan pengumuman mengenai olimpiade Sains sekolah kita” , ”Kapan Olimpiade itu akan dilaksanakan, Bu?” tanyaku cepat. “Hus, olimpiade itu sudah dilaksanakan kemarin lusa, Rusmini” sahut Lasmi disebelahku. Aku menatap Lasmi tajam, mataku berkata bahwa aku sangat kecewa. Ditambah lagi dengan penjelasan Bu Berti bahwa yang mewakili sekolah kami berhasil membawa predikat juara 2 di Kabupaten. “ Kapan aku bis mewakili sekolahku ini?” kataku lirih. “Saya yakin kamu bisa Rusmini, belajarlah dengan lebih giat lagi, jangan pantang menyerah” bisik Bu Berti mengagetkanku.
            Kulihat 2 siswi berjalan dengan riang gembira menenteng 2 karung chiki-chiki. “Hebat sekali mereka, benar-benar bisa hidup tanpa beban”. Aku mencoba memotivasi diriku sendiri. Apa yang sedang kulakukan? Iri dengan hidup mereka? Semua orang punya jalannya sendiri. Besok ulangan matematika, aku tidak akan membiarkan kesempatan ini terbuang sia-sia, akan ku buktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik.
            Jam dinding menunjukkan pukul 11.00 hal itu berarti malam ini sudah 5 jam aku bercinta dengan soal-soal matematika. Mataku mulai terasa berat, tanpa kusadari pensil ini terlepas dari genggamanku, aku terlelap.
            Hujan lebat mengiringi pagiku, degup jantungku mulai tidak beraturan, hanya  tingga hitungan menit ulangan matematika dimulai dan aku masih terus mengasah kemampuanku. Ulangan benar-benar dimulai,hingga aku menggenggam hasil ulanganku. 70, sangat jauh dari target yang kupasang.
            Aku keluar dari dalam ruangan dengan penuh amarah, kekecewaan. Apa gunanya aku belajar jika hasilnya tetap seperti ini? Ku pandang langit, hujan deras mulai mereda, emosiku justru meningkat. Matahari mulai menampakkan sinarnya membentuk sebuah pelangi yang membelah langit dan menyerukan suaranya, berbisik lembut kearahku, “Kau tahu? Aku butuh hujan serta matahari untuk muncul dan dicintai banyak orang. Aku berjuang mendapatkan warnaku. Tidak ada sukses yang instan, kobarkan semangatmu, ini akan menjadi hujan badai dan terik matahari yang akan menenggelamkanmu serta membakarmu jika kamu tidak bisa menyatukan mereka. Berjuanglah, tidak ada yang sia-sia. Aku disini pelangimu”. Aku teringat pada Bu Berti yang juga menyemangatiku. Semangatku mulai berkobar, mereka percaya padaku, jadi aku harus percaya dengan diriku seperti mereka, tidak akan kubiarkan hujan memadamkan atau matahari mengalahkan kobaran semangatku.
            Ku mulai hariku dengan penuh semangat, dibawah pohon kelengkeng yang memelukku aku mulai mencorat coret kertasku membantai habis seluruh soal-soal. “Mengapa hanya matematika yang kudalami? Mungkin bisa kuletakkan semangatku ini pada pelajaran yang lain juga.”
            Nilaiku mulai merangkak naik, usahaku membuahkan hasil. Dengan hasil kerja kerasku pihak sekolah memintaku untuk mewakili dalam sebuah kompetisi siswa berprestasi. Kulakukan semaksimal yang aku bisa. Berkat kerja keras yang kulakukan, aku berhasil mendapatkan juara 1. “Bagaimana kamu bisa melakukannya, Rusmini?” Tanya Lasmi heran. “Sebuah pelangi harus berjuang melawan hujan dan menyatukannya dengan matahari untuk menampakkan warnanya” jawabku singkat.

No comments:

Post a Comment