Lebatnya hujan malam menyisakan becek disepanjang jalan ini.
Tempat yang ku tuju hanya terlihat mengintip dari ujung jalan. Angin
yang berhembus mulai menusukku dari segala sudut. “Dingin sekali”
gumamku. Matahari hanya terlihat samar-samar sinarnya karena terhalang
awan mendung. Aku terus berjalan, sesekali melompat ke kanan dan ke kiri
menghindari lubang-lubang yang dipenuhi air. Aku berperang melawan
dinginnya udara.
Pintu
gerbang sekolah telah terbuka lebar, banyak siswa yang berlalu lalang.
Flamboyan merah menyapaku dengan gagahnya, burung-burung kecil bersorak
menyemangatiku. Dari kejauhan kelasku terlihat tidak biasa, ada yang
tidak beres, biasanya tidak sepi, pintu juga terlihst tertutup, “Apa
mungkin ada tambahan jam pagi?” Aku mulai panik dan berlari menuju
kelasku, tanpa peduli dengan air-air yang menggenang dihalaman sekolah.
Ku
atur napasku dan mulai membuka pintu kelasku dengan perlahan. Mataku
terbelalak melihat keadaan ricuh dikelasku, sangat berbanding terbalik
dengan yang kulihat dari kejauhan tadi. Wajahku berubah menjadi merah
padam, kulihat rok abu-abu yang kupakai kotor penuh cipratan lumpur.
“Rus…pinjam buku matematika milikmu” pinta Lasmi. Kesurahkan saja buku
hasil kerjaku semalam, raut wajah lega sedikit tergambar diwajahku,
untung aku sudah menyelesaikan PR matematika, pelajaran kesukaanku.
Pelajaran
matematika dimulai, Pak Rojak menjelaskan dan semua siswa memperhatikan
tetapi berbeda ketika beliau membalik badan dan menulis, siswa-siswi
yang diajarnya justru bergurau dan asik bermain HP. “Mengapa mereka
seperti itu?” bisikku pada Lasmi. “Sudahlah, memperhatikan ataupun tidak
hasilnya sama saja, tidak paham. Lihat aku juga bermain
HP” jelasnya sambil menunjukkan HP miliknya tersebut. Aku tidak gentar,
aku harus memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Aku mencintai mata
pelajaran ini.
“Tet…tet…tet”
anak-anak bersorak mendengar bunyi bel ganti pelajaran, mereka segera
berhamburan keluar kelas. Namun tidak lama kemudian mereka kembali dengan
wajah penuh lipatan, lebih parah dari pada saat diajar matematika. Aku
terheran, bagaimana bisa mereka serentak merubah ekspresinya? Hahahaha….
Aku tertawa terbahak-bahak, terlihat Bu Berti yang hendak mengajar
dikelasku, pantas saja mereka serentak berwajah kusut. “hanya ingin
istirahat dari matematika, kenapa sudah diajar lagi?” gerutu Lasmi.
Bu
Berti memulai pelajaran seperti biasanya, aku memperhatikan. “Anak-anak
saya akan memberitahukan pengumuman mengenai olimpiade Sains sekolah
kita” , ”Kapan Olimpiade itu akan dilaksanakan, Bu?” tanyaku cepat.
“Hus, olimpiade itu sudah dilaksanakan kemarin lusa, Rusmini” sahut
Lasmi disebelahku. Aku menatap Lasmi tajam, mataku berkata bahwa aku
sangat kecewa. Ditambah lagi dengan penjelasan Bu Berti bahwa yang
mewakili sekolah kami berhasil membawa predikat juara 2 di Kabupaten. “
Kapan aku bis mewakili sekolahku ini?” kataku lirih. “Saya yakin kamu
bisa Rusmini, belajarlah dengan lebih giat lagi, jangan pantang
menyerah” bisik Bu Berti mengagetkanku.
Kulihat
2 siswi berjalan dengan riang gembira menenteng 2 karung chiki-chiki.
“Hebat sekali mereka, benar-benar bisa hidup tanpa beban”. Aku mencoba
memotivasi diriku sendiri. Apa yang sedang kulakukan? Iri dengan hidup
mereka? Semua orang punya jalannya sendiri. Besok ulangan matematika,
aku tidak akan membiarkan kesempatan ini terbuang sia-sia, akan ku
buktikan bahwa aku bisa menjadi lebih baik.
Jam
dinding menunjukkan pukul 11.00 hal itu berarti malam ini sudah 5 jam
aku bercinta dengan soal-soal matematika. Mataku mulai terasa berat,
tanpa kusadari pensil ini terlepas dari genggamanku, aku terlelap.
Hujan lebat mengiringi pagiku, degup jantungku mulai tidak beraturan, hanya tingga
hitungan menit ulangan matematika dimulai dan aku masih terus mengasah
kemampuanku. Ulangan benar-benar dimulai,hingga aku menggenggam hasil
ulanganku. 70, sangat jauh dari target yang kupasang.
Aku
keluar dari dalam ruangan dengan penuh amarah, kekecewaan. Apa gunanya
aku belajar jika hasilnya tetap seperti ini? Ku pandang langit, hujan
deras mulai mereda, emosiku justru meningkat. Matahari mulai menampakkan
sinarnya membentuk sebuah pelangi yang membelah langit dan menyerukan
suaranya, berbisik lembut kearahku, “Kau tahu? Aku butuh hujan serta
matahari untuk muncul dan dicintai banyak orang. Aku berjuang
mendapatkan warnaku. Tidak ada sukses yang instan, kobarkan semangatmu,
ini akan menjadi hujan badai dan terik matahari yang akan
menenggelamkanmu serta membakarmu jika kamu tidak bisa menyatukan
mereka. Berjuanglah, tidak ada yang sia-sia. Aku disini pelangimu”. Aku
teringat pada Bu Berti yang juga menyemangatiku. Semangatku mulai
berkobar, mereka percaya padaku, jadi aku harus percaya dengan diriku
seperti mereka, tidak akan kubiarkan hujan memadamkan atau matahari
mengalahkan kobaran semangatku.
Ku
mulai hariku dengan penuh semangat, dibawah pohon kelengkeng yang
memelukku aku mulai mencorat coret kertasku membantai habis seluruh
soal-soal. “Mengapa hanya matematika yang kudalami? Mungkin bisa
kuletakkan semangatku ini pada pelajaran yang lain juga.”
Nilaiku
mulai merangkak naik, usahaku membuahkan hasil. Dengan hasil kerja
kerasku pihak sekolah memintaku untuk mewakili dalam sebuah kompetisi
siswa berprestasi. Kulakukan semaksimal yang aku bisa. Berkat kerja
keras yang kulakukan, aku berhasil mendapatkan juara 1. “Bagaimana kamu
bisa melakukannya, Rusmini?” Tanya Lasmi heran. “Sebuah pelangi harus
berjuang melawan hujan dan menyatukannya dengan matahari untuk
menampakkan warnanya” jawabku singkat.
No comments:
Post a Comment